Thursday, October 23, 2025

Zwingli: Sang Reformator dari Zurich dan Pendiri Reformasi Swiss

Ulrich Zwingli (1484–1531) adalah seorang tokoh kunci dan pendiri Reformasi Swiss. Ia bekerja secara independen dari Martin Luther, tetapi pada saat yang sama mengubah Zurich menjadi pusat teologi Reformasi yang utama.

Bagian I: Masa Muda dan Jalan Menuju Imamat (1484–1518)

Bab 1: Masa Kecil dan Pendidikan Humanis

Ulrich Zwingli lahir pada 1 Januari 1484, di Wildhaus, sebuah desa pegunungan di Toggenburg, Swiss. Ayahnya adalah seorang petani kaya yang menjabat sebagai kepala pemerintahan setempat, dan pamannya adalah seorang imam. Lingkungan keluarganya yang terpelajar memastikan Zwingli menerima pendidikan yang sangat baik sejak usia muda.

Ia belajar di Basel dan Bern, sebelum akhirnya masuk ke Universitas Wina dan kemudian Universitas Basel. Di Basel, ia sangat terpengaruh oleh semangat Humanisme Renaisans, sebuah gerakan yang menekankan studi kembali teks-teks asli, terutama bahasa Yunani dan Ibrani untuk mempelajari Alkitab. Zwingli menjadi pengagum berat Erasmus dari Rotterdam, seorang humanis terkemuka yang kritis terhadap praktik-praktik gereja. Pendidikan humanis ini akan menjadi dasar dari metode reformasinya—kembali ke sumber (ad fontes).

Bab 2: Imam Paroki dan Pelayan Tentara

Pada tahun 1506, Zwingli ditahbiskan menjadi imam dan melayani di paroki Glarus. Selama di sana, ia menemani tentara bayaran Swiss sebagai pendeta lapangan ke Italia dalam beberapa kampanye militer. Pengalaman ini sangat memengaruhi pandangan politiknya. Zwingli menyaksikan langsung kekejaman dan kehancuran moral yang disebabkan oleh sistem tentara bayaran, yang saat itu menjadi sumber pendapatan penting bagi Swiss. Pengalaman ini mengubahnya menjadi seorang patriot Swiss yang menentang praktik tentara bayaran.

Pada tahun 1516, ia pindah ke paroki yang lebih terkenal di Einsiedeln, sebuah situs ziarah populer. Di sana, ia mulai berkhotbah secara terbuka menentang ziarah dan menentang penjualan indulgensi (surat pengampunan dosa), menunjukkan pergeseran teologisnya yang semakin menjauh dari Roma.

Bab 3: Panggilan ke Zurich

Pada tahun 1518, Zwingli dipanggil untuk menjadi pastor paroki di Grossmünster, gereja utama di Zurich. Posisi ini memberinya panggung dan pengaruh yang besar di salah satu kota terpenting di Konfederasi Swiss. Zwingli segera mengumumkan pendekatannya yang radikal: alih-alih mengikuti leksionari (pembacaan Alkitab yang telah ditentukan), ia akan berkhotbah secara sistematis melalui Injil dari awal sampai akhir, mengajarkan Firman Tuhan secara murni dan sederhana.

Bagian II: Reformasi di Zurich (1519–1525)

Bab 4: Wabah dan Awal Mula Reformasi (1519)

Pada tahun 1519, wabah (Maut Hitam) melanda Zurich. Zwingli sendiri tertular dan hampir meninggal. Pengalaman di ambang kematian ini memperdalam keyakinannya bahwa hidup dan keselamatan hanya ada di tangan Tuhan. Setelah pulih, ia menjadi lebih tegas dalam tekadnya untuk mereformasi gereja sesuai dengan otoritas tunggal Alkitab.

Bab 5: Kasus Sosis dan Pembelaan Alkitab (1522)

Momen penting dalam Reformasi Zwingli adalah peristiwa "Kasus Sosis" pada Masa Prapaskah tahun 1522. Beberapa pengikut Zwingli secara terbuka memakan sosis selama Prapaskah, menantang tradisi puasa wajib gereja.

Zwingli membela tindakan mereka dalam khotbahnya yang berjudul Mengenai Pilihan dan Kebebasan Makanan. Ia berpendapat bahwa puasa adalah tradisi manusia, dan karena Alkitab tidak secara eksplisit melarang makan daging selama Prapaskah, maka hal itu diizinkan. Peristiwa ini menjadi simbol penolakan otoritas tradisi gereja yang tidak didukung oleh Kitab Suci (Sola Scriptura).

Bab 6: Pernikahan Rahasia dan Terbuka

Pada tahun 1522, Zwingli menikah secara rahasia dengan Anna Reinhart, seorang janda terpandang dengan beberapa anak. Pernikahan ini awalnya dirahasiakan selama dua tahun karena Zwingli masih menjadi imam Katolik, namun pada tahun 1524, ia mempublikasikan pernikahannya, yang menantang selibat wajib dan menormalisasi kehidupan keluarga bagi para reformator. Zwingli dan Anna memiliki empat anak.

Bab 7: Debat dan Reformasi Institusional

Antara tahun 1523 dan 1525, otoritas Zurich mensponsori serangkaian Debat Publik (Disputationes) antara Zwingli dan perwakilan gereja Katolik Roma. Zwingli berargumen berdasarkan 67 Dalil yang ia susun, yang secara efektif menolak wewenang Paus, Misa, keimamatan selibat, dan pentingnya patung.

Setelah Zwingli memenangkan debat, Zurich secara resmi mengadopsi Reformasi. Perubahan institusional yang cepat terjadi:

  • Misa Latin dihapus, diganti dengan kebaktian sederhana berbahasa Jerman.
  • Patung, ikon, dan organ musik disingkirkan dari gereja.
  • Biara-biara dibubarkan, dan dananya dialihkan untuk pendidikan dan kesejahteraan sosial.

Bagian III: Pertentangan dan Kematian (1525–1531)

Bab 8: Perpecahan dengan Anabaptis dan Luther

Setelah tahun 1525, Zwingli menghadapi konflik di dua arah:

  1. Konflik dengan Anabaptis: Beberapa pengikutnya, yang dikenal sebagai Anabaptis, menuntut reformasi yang lebih cepat dan radikal, terutama menolak pembaptisan bayi. Zwingli menentang mereka, bersikeras bahwa gereja dan negara harus bekerja sama (Prinsip Erastianisme). Zurich kemudian menganiaya Anabaptis, beberapa di antaranya dihukum mati.
  2. Konflik dengan Luther: Pada tahun 1529, Zwingli bertemu dengan Martin Luther di Kolokium Marburg. Meskipun mereka setuju pada hampir semua doktrin, mereka berdebat sengit mengenai Perjamuan Kudus.
    • Luther: Percaya akan kehadiran Kristus secara fisik (Konsubstansiasi).
    • Zwingli: Percaya Perjamuan Kudus adalah hanya simbol atau peringatan akan pengorbanan Kristus.

Ketidaksepakatan ini memecah Reformasi menjadi dua faksi utama: Lutheran dan Reformasi Swiss (Zwinglian/Kalvinis).

Bab 9: Perang dan Kematian (1531)

Zwingli percaya bahwa Reformasi tidak hanya harus diadopsi di Zurich tetapi juga di seluruh Konfederasi Swiss. Ia menggunakan kekuatan politik dan militer untuk menekan kanton-kanton Swiss Katolik yang tersisa (yang dikenal sebagai Lima Kanton Pedalaman) agar menerima Reformasi.

Ketegangan ini memuncak dalam Perang Kappel Pertama (1529), yang berakhir dengan perjanjian damai yang rapuh. Namun, pada Perang Kappel Kedua (1531), Zurich dan kanton Protestan lainnya disergap oleh pasukan Katolik yang jumlahnya jauh lebih banyak.

Zwingli, yang menemani pasukannya sebagai pendeta, tewas dalam pertempuran. Tubuhnya ditemukan, dimutilasi, dibakar, dan abunya dicampur dengan kotoran babi oleh musuh-musuhnya—sebuah tindakan yang menunjukkan kebencian yang mendalam terhadapnya. Kematiannya menandai berakhirnya Reformasi Zwingli yang agresif dan mengarah pada perjanjian yang memberikan kebebasan beragama kepada setiap kanton.


IV. Karya-Karya Penting Ulrich Zwingli

Zwingli adalah penulis yang produktif, karyanya berfokus pada eksegesis Alkitab dan pembenaran reformasi institusional.

Judul Karya

Tahun

Isi Utama dan Signifikansi

Von der Klarheit und Gewissheit des Wortes Gottes (Mengenai Kejelasan dan Kepastian Firman Tuhan)

1522

Menegaskan prinsip Sola Scriptura (hanya Alkitab), bahwa Alkitab itu jelas dan merupakan satu-satunya sumber kebenaran.

Auslegung und Begründung der Schlussreden (Penjelasan dan Pembenaran 67 Dalil)

1523

Pembelaan terperinci atas 67 Dalilnya yang diajukan pada Debat Zurich. Menolak wewenang Paus, Misa, dan perantaraan orang kudus.

De Vera et Falsa Religione Commentarius (Komentar Mengenai Agama yang Sejati dan Palsu)

1525

Karya teologi sistematis yang pertama dari Reformasi. Menyajikan pandangan menyeluruh mengenai iman dan ibadah Kristen, membedakannya dari tradisi Katolik.

Amica Exegesis (Eksegesis Ramah)

1527

Sebuah tanggapan terhadap Luther mengenai Perjamuan Kudus. Di sinilah ia menjelaskan pandangan simbolisnya tentang Perjamuan Kudus, di mana kata “adalah” dalam "Inilah tubuh-Ku" berarti “melambangkan”.

Zwingli dan Musik

Meskipun Luther menghargai musik dan menghasilkan himne yang luar biasa, Zwingli memiliki pandangan yang sangat berbeda.

  • Peniadaan Musik: Zwingli adalah seorang musisi berbakat (ia memainkan banyak instrumen), tetapi ia menghapus semua musik dan nyanyian jemaat dari ibadah gereja di Zurich.
  • Alasan: Ia percaya bahwa musik dapat mengalihkan perhatian dari Firman Tuhan dan bahwa nyanyian yang diiringi organ musik adalah inovasi manusia yang tidak didukung oleh Kitab Suci. Bagi Zwingli, musik termasuk dalam praktik yang perlu "dimurnikan" dari ibadah.

Oleh karena itu, meskipun Zwingli adalah seorang humanis dan musisi, warisannya terhadap musik liturgi Reformasi Swiss adalah dengan menjadikannya sebuah kebaktian yang murni berbasis khotbah dan tanpa lagu.

Reformator dari Jenewa: Kisah Hidup John Calvin

John Calvin (1509–1564) adalah seorang teolog, pastor, dan reformator Prancis yang, setelah Martin Luther, menjadi tokoh paling penting dalam Reformasi Protestan. Ia dikenal sebagai arsitek tradisi teologis yang kemudian disebut Kalvinisme, yang memengaruhi Gereja-gereja Reformasi, Presbiterian, Kongregasionalis, dan Baptis di seluruh dunia.

Bagian I: Jalan Sang Cendekiawan (1509–1536)

Bab 1: Masa Kecil dan Pendidikan di Prancis

John Calvin lahir dengan nama Jehan Cauvin pada 10 Juli 1509, di Noyon, Picardy, Prancis. Ayahnya, Gérard Cauvin, adalah seorang notaris dan sekretaris gereja, yang memastikan John menerima pendidikan terbaik. Berkat koneksi ayahnya dengan keluarga bangsawan, John yang cerdas dikirim ke Paris untuk belajar pada usia 14 tahun.

Di Paris, ia belajar di Collège de la Marche dan Collège de Montaigu, tempat ia mengasah kemampuan berbahasa Latin dan logika. Awalnya, ia ditujukan untuk karier sebagai pastor, tetapi ayahnya kemudian berubah pikiran dan menyuruhnya belajar hukum di universitas-universitas terkemuka di Orléans dan Bourges.

Bab 2: Pindah ke Humanisme dan Pencerahan Injili

Selama studi hukumnya (1528–1531), Calvin tenggelam dalam semangat Humanisme Renaisans, sebuah gerakan yang menekankan studi kembali teks-teks klasik, termasuk teks asli Alkitab dalam bahasa Yunani dan Ibrani. Studi ini, jauh dari teologi skolastik, memengaruhi metodologi dan cara berpikirnya.

Pada sekitar tahun 1533, Calvin mengalami apa yang ia sebut sebagai "konversi mendadak." Meskipun detailnya tidak diketahui pasti, ia meninggalkan Gereja Katolik Roma dan memeluk ajaran Reformasi Protestan. Ia sendiri menggambarkannya sebagai "pikiran saya menjadi jinak dan keras hati saya, yang lebih keras kepala pada usia itu, ditundukkan pada pengajaran."

Konversi ini terjadi di tengah gelombang penganiayaan terhadap umat Protestan di Prancis. Karena terlibat dalam sebuah pidato reformasi di Paris, Calvin terpaksa hidup dalam persembunyian, sering berpindah-pindah. Ia akhirnya meninggalkan Prancis pada tahun 1535 dan menetap sementara di Basel, Swiss.

Bab 3: Karya Pertama dan Mahakarya (1536)

Di Basel, Calvin, yang baru berusia 26 tahun, menyelesaikan karya yang akan mengubah sejarah Kekristenan dan segera menjadi buku teologi Protestan yang paling berpengaruh:

Institutio Christianae Religionis (Institusi Agama Kristen)

  • Tahun Penerbitan: Edisi pertama 1536.
  • Signifikansi: Awalnya dimaksudkan sebagai panduan kecil dan ringkas tentang iman Protestan, karya ini menjadi mahakarya Calvin yang terus ia revisi dan perluas hingga edisi final tahun 1559.
  • Isi: Institusi menyajikan teologi yang sistematis, logis, dan komprehensif. Itu mencakup empat bagian utama (berdasarkan Kredo Rasuli): Allah Sang Pencipta, Allah Sang Penebus dalam Kristus, Cara Menerima Anugerah Kristus (Roh Kudus), dan Gereja dan Negara. Buku ini berfungsi sebagai pembelaan bagi umat Protestan Prancis yang dianiaya dan sebagai manual pelatihan bagi para pemimpin gereja yang baru.

Bagian II: Panggilan ke Jenewa (1536–1555)

Bab 4: Panggilan Tak Terduga dan Pengasingan Pertama

Pada tahun 1536, Calvin, berniat hidup tenang sebagai cendekiawan, melakukan perjalanan ke Strasbourg. Namun, rute perjalanannya dialihkan karena perang, membawanya melewati Jenewa, yang baru saja memeluk Reformasi.

Reformator setempat, Guillaume Farel, seorang pria berapi-api, mendengar kedatangan Calvin dan memohon padanya untuk tinggal dan membantu mendirikan gereja Reformasi di sana. Ketika Calvin ragu, Farel yang marah mengancamnya dengan kutukan Tuhan jika ia mengutamakan studinya di atas panggilan ilahi. Calvin yang tersentak, menerima panggilan itu.

Namun, upaya mereka untuk mendisiplinkan moral dan liturgi Jenewa terlalu radikal bagi penduduk. Pada tahun 1538, Calvin dan Farel diusir.

Bab 5: Pengasingan yang Produktif di Strasbourg

Calvin menghabiskan tiga tahun yang bahagia dan produktif (1538–1541) di Strasbourg, melayani sebagai pastor bagi pengungsi Prancis dan berinteraksi dengan reformator terkemuka seperti Martin Bucer. Di Strasbourg, Calvin belajar banyak tentang organisasi gereja, yang ia terapkan kemudian di Jenewa.

Yang paling penting, selama di Strasbourg, Calvin menikah.

Bab 6: Keluarga Calvin

Pada tahun 1540, atas anjuran teman-temannya, Calvin menikahi Idelette de Bure, seorang janda Anabaptis dengan dua anak dari suami sebelumnya. Pernikahan mereka, meskipun singkat, bahagia. Calvin adalah suami yang setia dan pengasih.

Mereka hanya memiliki satu anak kandung, seorang putra, yang meninggal beberapa hari setelah lahir. Kematian Idelette pada tahun 1549 adalah pukulan besar bagi Calvin. Ia tidak pernah menikah lagi, mendedikasikan sisa hidupnya untuk pelayanan.

"Saya telah kehilangan pasangan terbaik dari kehidupan saya, yang tidak pernah meninggalkan saya, baik dalam pengasingan, kemiskinan, kehormatan, maupun ketidakpopuleran. Jika ada sesuatu yang menghibur saya, itu adalah kenyataan bahwa ia meninggal dalam tidur [Tuhan]." — John Calvin tentang Idelette.

Bab 7: Kediktatoran Teokratis di Jenewa (Pengembalian 1541)

Pada tahun 1541, Dewan Kota Jenewa memohon Calvin untuk kembali, menyadari bahwa mereka membutuhkan kepemimpinannya yang kuat untuk mengatur kota yang kacau. Calvin kembali dengan syarat Dewan menerima ordonansi gerejanya, yang membentuk struktur gereja baru.

Calvin menetapkan tatanan gereja dengan empat jabatan:

  1. Pastor: Bertanggung jawab atas khotbah dan sakramen.
  2. Doktor: Bertanggung jawab atas pengajaran dan pelatihan teologi.
  3. Penatua (Elder): Bertanggung jawab atas disiplin gereja dan pengawasan moral.
  4. Diaken: Bertanggung jawab atas amal dan bantuan sosial.

Dewan yang paling kontroversial adalah Konsistori (dibentuk dari pastor dan penatua), yang bertugas mengawasi moral publik dan menerapkan disiplin gereja. Jenewa di bawah Calvin menjadi model bagi kota-kota Protestan, dijuluki "Roma Protestan", tetapi juga dikenal karena ketegasannya. Kasus paling terkenal adalah eksekusi Michael Servetus (seorang anti-Trinitarian) pada tahun 1553, sebuah tindakan yang disetujui oleh Calvin dan Dewan Kota, yang mencerminkan pandangan keras pada masanya tentang bidah.

Bagian III: Warisan dan Akhir Hidup (1555–1564)

Bab 8: Puncak Pengaruh dan Akademi Jenewa

Setelah tahun 1555, lawan-lawan Calvin di Jenewa telah dikalahkan, dan pengaruhnya tak tertandingi. Selama dekade terakhirnya, ia fokus pada pengorganisasian gereja dan pendidikan.

Pada tahun 1559, ia mendirikan Akademi Jenewa (cikal bakal Universitas Jenewa), yang menjadi pusat pelatihan bagi para pendeta Reformasi dari seluruh Eropa, khususnya Prancis, Skotlandia, dan Belanda.

Ribuan pengungsi datang ke Jenewa, dan mereka kembali ke negara asalnya dengan teologi Kalvinis. Sosok seperti John Knox (yang membawa Kalvinisme ke Skotlandia) secara langsung belajar di bawah Calvin, menyebut Jenewa sebagai "sekolah Kristus yang paling sempurna yang pernah ada di bumi sejak zaman para Rasul."

Bab 9: Karya-Karya Lain

Selain Institusi, karya-karya Calvin meliputi:

  1. Komentari Alkitab: Ia menulis komentar yang luar biasa pada hampir seluruh Alkitab. Komentarnya dikenal karena kejelasan, ringkas, dan fokusnya pada makna literal dan historis teks (eksegesis).
  2. Traktat Polemik: Menulis banyak tanggapan terhadap lawan-lawan teologis (Katolik Roma, Anabaptis, anti-Trinitarian).

Bab 10: Calvin dan Musik

Tidak seperti Luther, Calvin sangat berhati-hati dalam penggunaan musik dalam ibadah. Ia percaya bahwa ibadah haruslah sesederhana mungkin dan tidak boleh mengalihkan perhatian dari Firman Tuhan. Oleh karena itu, ia melarang alat musik di gereja dan hanya mengizinkan nyanyian Mazmur Berirama (Metrical Psalms)—yaitu, teks Mazmur yang diubah menjadi syair yang dapat dinyanyikan.

Karya Musik: Mazmur Jenewa

  • Bukan Himne: Calvin tidak menulis himne dalam pengertian lirik yang baru; ia hanya menyediakan Mazmur yang telah diberi irama.
  • Melodi: Ia mengawasi penciptaan Mazmur Jenewa (seperti yang ada dalam Genevan Psalter), bekerja dengan musisi seperti Louis Bourgeois. Melodi-melodi ini bersifat sederhana, berirama tunggal, dan khidmat.
  • Contoh Paling Terkenal: Melodi untuk Mazmur 134 (biasanya dikenal sebagai Old Hundredth atau "Praise God from Whom All Blessings Flow" dalam bahasa Inggris) berasal dari Mazmur Jenewa yang ia gunakan.

Dengan demikian, pengaruh Calvin terhadap musik ibadah adalah disiplin dan penekanan pada Mazmur, sebuah warisan yang mendominasi gereja-gereja Reformasi selama beberapa abad.

Bab 11: Akhir Sang Reformator

John Calvin meninggal pada 27 Mei 1564, pada usia 54 tahun, setelah menderita penyakit kronis selama bertahun-tahun, termasuk TBC, migrain, dan batu ginjal. Meskipun ia adalah pemimpin paling berkuasa di Jenewa, ia meminta dimakamkan dalam kuburan yang tidak ditandai di Pemakaman Jenewa—sebuah tindakan yang mencerminkan kerendahan hati dan penolakan terhadap pemujaan orang kudus.

Warisan John Calvin adalah sebuah tradisi teologis yang menekankan kedaulatan Tuhan (soli Deo gloria—kemuliaan hanya bagi Tuhan), pembenaran hanya oleh iman, dan panggilan Kristen untuk hidup berdisiplin di dunia, yang secara mendalam membentuk Amerika Utara, Skotlandia, dan banyak negara Eropa.

Api Reformasi: Kisah Hidup Martin Luther

Bagian I: Jalan Sang Biarawan (1483–1517)

Bab 1: Masa Kecil dan Ambisi Sang Ayah

Kisah ini dimulai di Eisleben, Sachsen, Kekaisaran Romawi Suci, pada tanggal 10 November 1483, dengan lahirnya Martin Luther. Ayahnya, Hans Luther, adalah seorang pria ambisius yang bekerja keras sebagai penambang tembaga dan berhasil meraih kemakmuran kelas menengah. Hans bertekad bahwa putranya tidak akan mengikuti jejaknya yang keras; Martin harus menjadi seorang pengacara terkemuka.

Maka, masa kecil Martin diisi dengan disiplin yang ketat dan fokus pada pendidikan. Ia dikirim ke sekolah Latin di Mansfeld dan kemudian ke Magdeburg. Pendidikan pada masa itu keras, namun Martin menunjukkan kecerdasan yang tajam. Pada usia 17 tahun, ia masuk ke Universitas Erfurt, sebuah institusi bergengsi, dan dengan cepat menyelesaikan studinya, memperoleh gelar Master of Art pada tahun 1505—sebuah kebanggaan besar bagi Hans.

Bab 2: Sumpah di Tengah Badai

Sesuai rencana ayahnya, Martin memulai studi hukum, namun takdir memiliki rencana lain. Pada musim panas 1505, saat Martin sedang dalam perjalanan kembali ke kampus, badai petir yang hebat tiba-tiba meletus. Petir menyambar sangat dekat dengannya. Dalam ketakutan yang mencekam akan kematian dan penghakiman abadi—suatu obsesi teologis di Abad Pertengahan—Martin berseru, "Tolonglah, Santa Anna! Aku akan menjadi biarawan!"

Keputusan ini mengejutkan semua orang, terutama ayahnya, yang marah besar karena rencana hidup yang telah ia susun dengan susah payah dihancurkan oleh sumpah yang tergesa-gesa. Namun, Martin berpegang pada sumpahnya. Dalam waktu dua minggu, ia menjual buku-buku hukumnya dan memasuki biara Augustinian yang ketat di Erfurt.

Bab 3: Pergulatan di Biara dan Pencerahan

Di dalam biara, Martin Luther menjadi biarawan yang sangat taat. Ia melakukan puasa yang ekstrem, tidur di lantai dingin, dan menghabiskan berjam-jam dalam pengakuan dosa—kadang-kadang sampai enam jam sehari—tetapi ia tetap tidak menemukan kedamaian. Semakin keras ia berusaha menyenangkan Tuhan, semakin besar rasa takutnya akan murka Tuhan. Ia merasa, "Aku mengasihi Allah... Aku membenci Allah yang benar yang menghukum orang berdosa!"

Untungnya, atasannya, Johann von Staupitz, mengenali kecerdasan dan pergulatan rohani Luther. Staupitz menyuruh Luther untuk tidak terlalu banyak introspeksi, tetapi fokus pada salib, dan yang terpenting, mendorongnya untuk belajar dan mengajar teologi.

Pada tahun 1512, Luther memperoleh gelar Doktor Teologi dan diangkat menjadi profesor di Universitas Wittenberg. Saat ia mempersiapkan kuliah tentang Surat Roma, terutama Roma 1:17, ("Orang benar akan hidup oleh iman"), pencerahan besar (dikenal sebagai Turmerlebnis atau Pengalaman Menara) menyambar jiwanya, sedahsyat petir yang mengubah hidupnya.

Luther menyadari bahwa "Kebenaran Allah" bukanlah keadilan yang menuntut hukuman, tetapi kebenaran yang dianugerahkan kepada orang percaya sebagai hadiah gratis. Ia akhirnya memahami prinsip sola fide (hanya oleh iman): manusia diselamatkan bukan karena perbuatan baik, tetapi hanya karena anugerah Tuhan yang diterima melalui iman kepada Kristus.

"Aku merasa diriku benar-benar terlahir kembali dan telah memasuki surga itu sendiri melalui pintu yang terbuka lebar." — Martin Luther

Pencerahan ini menjadi bahan peledak yang menunggunya menemukan sumbunya.

Bagian II: Api di Wittenberg dan Badai di Eropa (1517–1525)

Bab 4: 95 Tesis: Awal Mula Revolusi

Sumbu ledakan itu datang dalam bentuk indulgensi. Seorang biarawan Dominikan bernama Johann Tetzel berkeliling Jerman, menjual "surat pengampunan dosa" untuk mengumpulkan dana pembangunan Basilika Santo Petrus di Roma. Tetzel menjanjikan kebebasan dari hukuman dosa—bahkan ada yang mengatakan, “Segera setelah koin di peti berdering, jiwa dari api penyucian melompat.”

Bagi Luther, yang baru saja menemukan kebebasan di dalam anugerah, praktik ini adalah penyesatan teologis dan eksploitasi yang keji. Pada 31 Oktober 1517, Luther melancarkan protes. Ia menyusun 95 Dalil (Tesis), sebuah undangan akademik untuk berdebat mengenai praktik dan efektivitas indulgensi. Tesis ke-86 menantang langsung Paus: "Mengapa Paus, yang kekayaannya saat ini lebih besar daripada kekayaan Crassus yang terkaya, membangun Basilika Santo Petrus dengan uang orang-orang percaya yang miskin?"

Berkat mesin cetak, yang kala itu merupakan teknologi revolusioner, salinan Tesis itu menyebar dalam hitungan minggu ke seluruh Jerman dan dalam hitungan bulan ke seluruh Eropa. Apa yang dimaksudkan sebagai diskusi lokal berubah menjadi seruan revolusi yang tidak dapat dibungkam.

Bab 5: Konflik dengan Kekaisaran

Tiga tahun berikutnya adalah periode penulisan yang produktif bagi Luther. Ia menegaskan prinsip-prinsip Reformasi:

  • Sola Scriptura (Hanya Alkitab): Alkitab adalah satu-satunya sumber otoritas keagamaan.
  • Sola Fide (Hanya Iman): Keselamatan hanya melalui iman.
  • Sola Gratia (Hanya Anugerah): Keselamatan adalah karunia cuma-cuma dari Tuhan.
  • Keimaman Semua Orang Percaya: Setiap orang Kristen memiliki akses langsung kepada Tuhan tanpa memerlukan perantara klerus.

Paus Leo X tidak tinggal diam. Pada tahun 1520, ia mengeluarkan bula kepausan yang mengancam Luther dengan ekskomunikasi jika ia tidak menarik kembali ajarannya. Sebagai respons, Luther secara terbuka membakar bula tersebut di luar gerbang Wittenberg. Ekskomunikasi pun dikeluarkan pada tahun 1521.

Bab 6: Sidang Worms dan Persembunyian

Konflik memuncak di Sidang Worms (1521), di mana Luther dipanggil ke hadapan Kaisar Karl V dan para penguasa gereja dan negara. Ia diminta untuk menarik kembali ajarannya. Luther meminta waktu sehari untuk mempertimbangkan, dan keesokan harinya ia menyampaikan salah satu pidato paling berani dalam sejarah.

Ia menolak mencabut ajarannya kecuali ia diyakinkan oleh Kitab Suci. Ia mengakhiri dengan kalimat yang menjadi legenda:

"Saya tidak bisa dan tidak akan mencabut apa pun, karena bertindak melawan hati nurani tidaklah aman, juga tidak benar. Di sini saya berdiri; saya tidak bisa melakukan yang lain. Tuhan menolong saya. Amin."

Kaisar menyatakan Luther sebagai penjahat kekaisaran. Namun, dalam perjalanan pulang, Luther "diculik" oleh sekelompok ksatria. Penculikan ini diatur oleh pelindungnya, Frederick III, Pangeran Elektor Sachsen. Luther dibawa ke Kastil Wartburg, tempat ia hidup menyamar sebagai "Junker Jörg" (Ksatria George).

Selama di Wartburg, Luther melakukan pekerjaan monumental: ia menerjemahkan Perjanjian Baru dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Jerman dalam waktu hanya sebelas minggu. Terjemahan ini—kemudian disempurnakan menjadi seluruh Alkitab pada tahun 1534—membuat Kitab Suci dapat diakses oleh rakyat jelata, secara radikal memberdayakan umat, dan menetapkan fondasi bagi bahasa Jerman modern.

Bagian III: Reformasi Keluarga dan Warisan (1525–1546)

Bab 7: Hidup Berkeluarga

Pada tahun 1525, Martin Luther, seorang mantan biarawan, menikahi Katharina von Bora, seorang mantan biarawati. Pernikahan ini bukan hanya tindakan pribadi, tetapi sebuah deklarasi teologis yang berani yang menolak selibat wajib bagi klerus. Mereka mendirikan rumah tangga di biara tua Augustinian di Wittenberg dan dikenal karena kehidupan keluarga mereka yang hangat dan penuh kasih.

Mereka dikaruniai enam anak: Hans, Elisabeth, Magdalena, Martin, Paul, dan Margarethe. Luther sangat menyayangi anak-anaknya. Kisah pernikahannya dengan "Katy" memberikan model baru bagi kehidupan pastoral dalam tradisi Protestan.

Bab 8: Karya Tulis dan Kontribusi pada Pendidikan

Setelah Reformasi stabil, Luther memfokuskan energinya untuk membangun gereja Protestan. Ia menulis secara luas untuk mengajar dan melatih jemaat:

  1. Katekismus Kecil (1529): Karya terpenting Luther setelah Alkitab. Ini adalah manual ringkas yang mengajarkan dasar-dasar iman—Sepuluh Perintah, Kredo, Doa Bapa Kami, dan Sakramen—dirancang untuk keluarga dan anak-anak.
  2. Katekismus Besar (1529): Penjelasan yang lebih rinci, ditujukan untuk para pendeta.
  3. Memajukan Pendidikan: Luther adalah seorang pendukung kuat pendidikan universal, percaya bahwa semua orang, baik pria maupun wanita, harus bisa membaca untuk mempelajari Alkitab. Ia menyerukan pembangunan sekolah-sekolah Kristen.

Bab 9: Warisan Musik: Himne Luther

Luther percaya bahwa musik adalah "pemberian indah dari Tuhan" dan merupakan alat yang ampuh untuk mengajar teologi. Ia berupaya mengembalikan nyanyian ke dalam ibadah jemaat, yang sebelumnya didominasi oleh paduan suara klerus berbahasa Latin. Ia tidak hanya menulis lirik, tetapi juga mengubah lagu-lagu Latin kuno atau melodi populer menjadi himne jemaat dalam bahasa Jerman.

Luther menulis sekitar 37 himne. Yang paling terkenal adalah:

Ein' feste Burg ist unser Gott (Allah Kita Pelindung yang Teguh)

  • Latar Belakang: Berdasarkan Mazmur 46.
  • Signifikansi: Dikenal sebagai "Mars Reformasi", lagu ini adalah deklarasi iman yang militan dan kuat, menegaskan bahwa Tuhan adalah benteng yang kokoh melawan segala kuasa jahat. Liriknya menjadi seruan pertempuran bagi para pengikut Reformasi di seluruh Eropa.

Vom Himmel hoch, da komm ich her (Dari Surga Tinggi, Aku Datang)

  • Signifikansi: Awalnya ditulis untuk anak-anaknya, himne Natal yang hangat ini bercerita tentang kabar baik kedatangan Kristus.

Bab 10: Akhir Sang Reformator

Tahun-tahun terakhir Luther dihabiskan untuk mengajar, menulis polemik, dan bergumul dengan penyakit. Kesehatannya menurun drastis akibat berbagai penyakit, termasuk masalah jantung dan pencernaan.

Meskipun kesehatannya buruk, ia melakukan perjalanan terakhirnya ke kota kelahirannya, Eisleben, untuk menengahi perselisihan keluarga para bangsawan Mansfeld. Di sana, dikelilingi oleh sahabat-sahabat lamanya, Martin Luther meninggal dengan damai pada 18 Februari 1546, pada usia 62 tahun.

Kata-kata terakhirnya yang tercatat menegaskan keyakinan hidupnya: "Kami adalah pengemis. Itu benar." Sebuah pengakuan sederhana bahwa semua yang ia miliki, termasuk keselamatannya, adalah anugerah murni dari Tuhan.

Epilog

Martin Luther meninggalkan warisan yang monumental. Ia memecahkan monopoli Gereja Katolik Roma atas iman, meletakkan Kitab Suci di tangan rakyat jelata, memberikan lagu untuk dinyanyikan umat, dan mendirikan fondasi teologis bagi Protestantisme. Luther adalah api yang menyala di Wittenberg, yang cahayanya masih membentuk dunia modern.